Filsafat Bahasa Al Qur’an

Secara epistemologis, bahasa al-Qur’an dibangun dari ayat-ayat muhkamat dan ayat-ayat musyabihat. Ayat-ayat muhkamat adalah ayat yang mengandung halal dan haram dan tidak ter-nasakh. Para ulama’ salaf seperti Ibnu Abbas mengatakan bahwa ayat-ayat muhkam adalah firman Allah dalam Al Qur’an surat Al An’am ayat 151 yang artinya:

“Katakanlah: kemarilah aku bacakan apa yang diharamkan Tuhanmu bagi dirimu, yaitu engkau tidak menyekutukan Tuhan dengan suatu pun dan hendaklah engkau berbuat baik kepada kedua orang tua, dan janganlah membunuh anak-anakmu karena takut melarat, Aku memberi rizki kepadamu dan kepada mereka, dan janganlah mendekati perbuatan-perbuatan keji yang secara terbuka dan secara tertutup, dan janganlah membunuh seorang yang diharamkan Allah kecuali dengan hak. Itulah apa yang Allah wasiatkan atas dirimu agar kamu menjadi orang-orang yang mengerti.

Menurut Jabir Ibnu Abdillah ayat-ayat mutasyabihat adalah ayat-ayat yang tidak dapat dipahami maknanya. Ayat mutasyabih merupakan merupakan ayat-ayat yang hanya diketahui Allah SWT saja dan tidak dapat dipahami makhluk-Nya. Misalnya ayat-ayat yang berbicara tentang waktu hari Kiamat, keluarnya Ya’juj dan Ma’juj, kehancuran dunia dan sejenisnya.

Pada sisi lain sebagian Ulama’ melihat bahwa bahasa al-Qur’an terdiri dari ayat-ayat haqiqi dan ayat-ayat majazi. Menurut pandangan Ibnu Taimiyah dalam memahami bahasa al-Qur’an ia menyesuaikan dengan makna lahirnya (hakiki), sehingga ia berkeyakinan bahwa Allah itu berada di langit, tinggal di atas Arasy, dan Allah datang pada hari Kiamat, dan seterusnya. Hal ini didasarkan pada firman Allah yang dimaknai secara hakiki yaitu yang artinya:

Kemudian Dia menuju kepada penciptaan langit (QS. Fushilat: 11). Tuhan yang Maha Pemurah, yang bersemayam di atas Arasy (QS. Thaha: 5). Dan datanglah Tuhanmu; sedang malaikat berbaris-baris (QS. Al Fajr: 22).

Dari golongan mu’tazilah yang mengedepankan akal berpendapat bahwa Tuhan tidak memiliki sifat-sifat jasmani. Oleh karena itu ayat-ayat al-Qur’an diartikan secara majazi (figuratif). Dengan kata lain mereka, dengan konsep taqdis dan tanzih-nya, menolak makna primer dari ayat-ayat al-Qur’an dan mentakwilnya dengan mengalihkan makna primernya pada makna sekunder, sesuai dengan kesucian Tuhan dari sifat-sifat makhluk.

Dalam filsafat bahasa al-qur’an diibaratkan kulit dan isi, maksudnya bahasa al-Qur’an tidak hanya memperhatikan gagasan yang disampaikan, akan tetapi juga memperhatikan manusia dan dunianya. Bahasa sebagai kulit memiliki dua sisi, yaitu mengarah ke dalam mengacu pada gagasan yang akan disampaikan dan mengarah ke luar mengacu pada manusia yang diajak bicara dan dunianya.

Pada hakikatnya al-Qur’an itu memiliki dua wujud: wujud abstrak yang ada pada Dzat Allah SWT. Dalam wujud ini al-Qur’an tidak berhuruf dan tidak bersuara, dan bersifat qadim, tidak bermula. Kedua yaitu wujud nyata yang berhuruf dan bersuara, serta tertulis dalam mushaf. Diumpamakan sebuah rumah yang juga mempunyai dua wujud; wujud dalam pikiran atau otak seorang arsitektur dan wujud nyata di luar pikiran arsitektur. Wujud eksternal itu merupakan bukti dari wujud internal.

Dari segi manfaatnya, bahasa al-Qur’an diambil dari bahasa dunia mereka memberikan manfaat yaitu memudahkan pemahaman, karena manusia selalu mengukur pengetahuan dengan bahasa dan nalarnya terhadap dunia nyata melalui panca indra, di samping aspek keindahan karena dapat dilihat, didengar dan dirasakan. Dengan demikian, keyakinan tauhid akan tertanam pada diri manusia dengan cara yang layak dan tepat. Allah SWT memerintahkan para nabi-Nya agar berbicara kepada manusia sesuai dengan kemampuan akalnya.

Kelas Filsafat Bahasa bersama Dr. H. Sutaman, MA


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Seblang, The Mistic Dance of Banyuwangi

Kuliner Bengi Lan Lungguh Ngopi Surganya Kuliner Osing Banyuwangi

Lima Materi Persiapan Mendaftar PPIH Arab Saudi